Minggu, 09 Februari 2014

MELATI



  Sebenarnya aku masih belum ingin pergi dari tempat ini, tempat penebus kesalahanku, tempat penebus dosa ketika di dunia, aku masih ingin lebih lama disini, ditempat berkumpulnya orang dengan kesalahan dan dosa yang beraneka ragam, tempat 3x2 meter persegi yang diisi delapan orang dalam satu kamar,   tempat yang hanya cukup untuk berselonjor kaki, tempat dimana awal aku menebus kesalahan yang aku tahu tak mungkin bisa kutebus. Ini sudah tahun kelima setelah kejadian itu. Apa daya aku tidak bisa mengelak saat diputuskan untuk keluar dari tempat ini, aku tak tahu harus kemana, aku tak punya tempat tinggal lagi, bahkan tak ada orang yang sudi mengakuiku sebagai saudara bahkan teman. Sempat sesaat aku berpikir ingin menghabisi nyawa orang atau merampok bank agar aku bisa kembali ketempatku dulu, tapi, itu justru akan membawaku kejurang kenistaan yang lebih dalam lagi.

   Cukup lumayan jauh aku berjalan, kini kedua kakiku sudah tak tahan menahan rasa lelah dan memaksaku untuk berhenti, meskipun aku masih ingin berjalan lebih jauh lagi. Aku berhenti tepat di samping telefon umum, aku rindu pada seseorang. Kuangkat gagang telefon yang menggantung itu, kumasukan kepingan uang lima ratus rupiah hadiah dari sipir karena kebebasanku tadi, ‘hallo..’terdengar suara yang sudah tampak berat dari seberang sana, aku masih belum bisa membalas sapaan itu, sampai kedua kalinya dia bertanya ‘hallo.. ini siapa yah..?”  ‘ini aku no, aryo’ jawabku dengan suara lirih, ‘aryo..? aryo kuncoro..?” dengan nada sedikit kaget, ‘iya no, kamu apa kabar..?” tanyaku, mencoba menenangkannya, ‘kamu kapan bebasnya yo..? masyaallah, sudah lama aku tak mendengar suaramu yo, alhamdullilah aku baik baik saja yo, kamu gimana,” Tanya seno yang sepertinya sudah mulai tenang, ‘alhamdullillah no, aku dapat remisi, kabarku juga alhamdullillah sehat no, oh ya, aku mau tanya sesuatu sama kamu,”. ‘mau tanya opo yo..?” jawab seno dengan logat jawa nya yang masih kental, sepertinya dia masih seperti seno yang dulu tak berubah, ‘gini no, kamu tahu nggak sekarang Melati tinggal dimana..?” tanyaku, ‘Melati anakmu..? ooh sekarang dia tinggal bersama iparmu di Jogja.”  “tuuuut…tuut..tuut”  tiba tiba telefon terputus, mungkin sudah habis, aku tadi hanya memasukan lima ratus rupiah saja. Tapi setidaknya aku sudah mendapatkan informasi yang penting dari Seno sahabatku dulu.

Esoknya aku putuskan untuk pergi ke Jogja, aku tidak yakin keluargaku dulu masih bisa menerimaku atau justru sudah tidak ingin mengenalku lagi, sungguh dilematis hidupku ini, disatu sisi aku ingin sekali bertemu dengan seseorang yang sudah lima tahun ini aku rindukan, disisi lain aku takut mereka masih belum bisa menerima kehadiranku. Sampai ahirnya aku bertekat memberanikan diri mengunjungi kediaman iparku dulu.

  Masih seperti dulu suasana tempat ini, asri dan begitu tenang suasananya, suasana yang sudah lama aku rindukan, suasana khas desa yang mengembalikan ingatanku lima tahun yang lalu. Suasana yang tak pernah aku rasakan selama aku di rutan. Aku berhenti didepan rumah joglo khas jawa, tiba tiba jantungku berdegup kencang, keringat dingin mulai bercucuran dari kening dan tak kusadari sudah membasahi seluruh wajahku, aku merasa kaki berubah menjadi beton yang kaku dan tak dapat digerakan, sempat aku berpikir mengurungkan niatku untuk memasuki rumah tersebut, hingga ahirnya terdengar suara yang nampak berat yang berhasil membuyarkan lamunanku, ’maaf, mas saya mau lewat.’ Kata seorang lelaki setengah baya dengan rumput segar kehijauan yang diikat di belakang sepeda kumbang yang sudah tampak berkarat, ‘oh, iya, maaf, silahkan pak,’kata ku dengan sedikit merundukan punggung dan senyum simpul. Tak lama aku mendengar suara anak perempuan memanggil laki-laki setengah baya tadi, ‘bapak-bapak,’ dengan suara manja khas anak anak, tiba tiba aku sangat tertarik melihat gelagat anak perempuan itu. Anak itu nampak cantik dengan rambut yang dibiarkan terurai sebahu dengan daster khas anak-anak, sepertinya aku pernah melihat wajah lugu itu, anak perempuan itu mengingatkanku pada seseorang yang pernah aku cintai dan ahirnya aku lenyapkan dengan kejinya tindakanku yang tak pernah bisa kumaafkan, entah apa yang membuatku tega menghabisi seseorang yang jelas jelas mencintaiku, tapi kini aku merasa dia sangat berharga setelah dia sudah tidak ada karna kebangsatanku sendiri, sebuah penyesalan tidak akan berguna dan tidak akan bisa menebus dosa.

  Anak itu masih tetap menjadi obyek perhatianku, sepertinya ada sesuatu yang menarik langkahku untuk menemui anak itu, tapi niat itu aku urungkan, aku masih belum yakin dengan diriku dan belum berani dengan kenyataan. Sorot mataku terus mengikuti kemana langkah kaki anak itu sampai ahirnya dia membuatku terkejut bukan kepayang, seperti tersambar petir, sepertinya anak itu tak sengaja  menatapku dengan tatapan tak biasa, tatapan yang begitu teduh, tatapan mata dari seorang anak yang sudah lima tahun aku rindukan, sampai ahirnya ingatanku membawaku ke sebuah nama “Melati, anakku”, yah itu melati, aku yakin itu melati anakku. Namun dosa ini terlalu berat untuk aku pikul menemuinya sehingga aku hanya bisa terdiam tak berani bergerak sedikitpun, begitu banyak pertanyaan yang menjejali kepalaku saat ini, pertanyaan yang timbul karna rasa ketakutanku pada kenyataan. Akankah mereka masih bisa menerimaku,? apakah melati masih mengakuiku sebagai bapaknya dulu,? Atau dia akan mengusirku jauh jauh dan tak ingin melihatku. Sampai ahirnya aku melihat anak itu lari masuk kedalam rumah dan membiarkanku duduk terpaku melihatnya pergi.