Sebenarnya aku masih
belum ingin pergi dari tempat ini, tempat penebus kesalahanku, tempat penebus
dosa ketika di dunia, aku masih ingin lebih lama disini, ditempat berkumpulnya
orang dengan kesalahan dan dosa yang beraneka ragam, tempat 3x2 meter persegi
yang diisi delapan orang dalam satu kamar,
tempat yang hanya cukup untuk
berselonjor kaki, tempat dimana awal aku menebus kesalahan yang aku tahu tak
mungkin bisa kutebus. Ini sudah tahun kelima setelah kejadian itu. Apa daya aku
tidak bisa mengelak saat diputuskan untuk keluar dari tempat ini, aku tak tahu
harus kemana, aku tak punya tempat tinggal lagi, bahkan tak ada orang yang sudi
mengakuiku sebagai saudara bahkan teman. Sempat sesaat aku berpikir ingin
menghabisi nyawa orang atau merampok bank agar aku bisa kembali ketempatku
dulu, tapi, itu justru akan membawaku kejurang kenistaan yang lebih dalam lagi.
Cukup lumayan jauh
aku berjalan, kini kedua kakiku sudah tak tahan menahan rasa lelah dan
memaksaku untuk berhenti, meskipun aku masih ingin berjalan lebih jauh lagi.
Aku berhenti tepat di samping telefon umum, aku rindu pada seseorang. Kuangkat
gagang telefon yang menggantung itu, kumasukan kepingan uang lima ratus rupiah
hadiah dari sipir karena kebebasanku tadi, ‘hallo..’terdengar suara yang sudah
tampak berat dari seberang sana, aku masih belum bisa membalas sapaan itu,
sampai kedua kalinya dia bertanya ‘hallo.. ini siapa yah..?” ‘ini aku no, aryo’ jawabku dengan suara
lirih, ‘aryo..? aryo kuncoro..?” dengan nada sedikit kaget, ‘iya no, kamu apa
kabar..?” tanyaku, mencoba menenangkannya, ‘kamu kapan bebasnya yo..?
masyaallah, sudah lama aku tak mendengar suaramu yo, alhamdullilah aku baik
baik saja yo, kamu gimana,” Tanya seno yang sepertinya sudah mulai tenang,
‘alhamdullillah no, aku dapat remisi, kabarku juga alhamdullillah sehat no, oh
ya, aku mau tanya sesuatu sama kamu,”. ‘mau tanya opo yo..?” jawab seno
dengan logat jawa nya yang masih kental, sepertinya dia masih seperti seno yang
dulu tak berubah, ‘gini no, kamu tahu nggak sekarang Melati tinggal dimana..?”
tanyaku, ‘Melati anakmu..? ooh sekarang dia tinggal bersama iparmu di Jogja.” “tuuuut…tuut..tuut” tiba tiba telefon terputus, mungkin sudah
habis, aku tadi hanya memasukan lima ratus rupiah saja. Tapi setidaknya aku
sudah mendapatkan informasi yang penting dari Seno sahabatku dulu.
Esoknya aku putuskan untuk pergi ke Jogja, aku tidak yakin
keluargaku dulu masih bisa menerimaku atau justru sudah tidak ingin mengenalku
lagi, sungguh dilematis hidupku ini, disatu sisi aku ingin sekali bertemu
dengan seseorang yang sudah lima tahun ini aku rindukan, disisi lain aku takut
mereka masih belum bisa menerima kehadiranku. Sampai ahirnya aku bertekat
memberanikan diri mengunjungi kediaman iparku dulu.
Masih seperti dulu
suasana tempat ini, asri dan begitu tenang suasananya, suasana yang sudah lama
aku rindukan, suasana khas desa yang mengembalikan ingatanku lima tahun yang
lalu. Suasana yang tak pernah aku rasakan selama aku di rutan. Aku berhenti
didepan rumah joglo khas jawa, tiba tiba jantungku berdegup kencang, keringat
dingin mulai bercucuran dari kening dan tak kusadari sudah membasahi seluruh
wajahku, aku merasa kaki berubah menjadi beton yang kaku dan tak dapat
digerakan, sempat aku berpikir mengurungkan niatku untuk memasuki rumah
tersebut, hingga ahirnya terdengar suara yang nampak berat yang berhasil
membuyarkan lamunanku, ’maaf, mas saya mau lewat.’ Kata seorang lelaki setengah
baya dengan rumput segar kehijauan yang diikat di belakang sepeda kumbang yang
sudah tampak berkarat, ‘oh, iya, maaf, silahkan pak,’kata ku dengan sedikit
merundukan punggung dan senyum simpul. Tak lama aku mendengar suara anak
perempuan memanggil laki-laki setengah baya tadi, ‘bapak-bapak,’ dengan suara
manja khas anak anak, tiba tiba aku sangat tertarik melihat gelagat anak
perempuan itu. Anak itu nampak cantik dengan rambut yang dibiarkan terurai
sebahu dengan daster khas anak-anak, sepertinya aku pernah melihat wajah lugu
itu, anak perempuan itu mengingatkanku pada seseorang yang pernah aku cintai dan
ahirnya aku lenyapkan dengan kejinya tindakanku yang tak pernah bisa kumaafkan,
entah apa yang membuatku tega menghabisi seseorang yang jelas jelas
mencintaiku, tapi kini aku merasa dia sangat berharga setelah dia sudah tidak
ada karna kebangsatanku sendiri, sebuah penyesalan tidak akan berguna dan tidak
akan bisa menebus dosa.
Anak itu masih tetap
menjadi obyek perhatianku, sepertinya ada sesuatu yang menarik langkahku untuk
menemui anak itu, tapi niat itu aku urungkan, aku masih belum yakin dengan
diriku dan belum berani dengan kenyataan. Sorot mataku terus mengikuti kemana
langkah kaki anak itu sampai ahirnya dia membuatku terkejut bukan kepayang,
seperti tersambar petir, sepertinya anak itu tak sengaja menatapku dengan tatapan tak biasa, tatapan
yang begitu teduh, tatapan mata dari seorang anak yang sudah lima tahun aku
rindukan, sampai ahirnya ingatanku membawaku ke sebuah nama “Melati, anakku”,
yah itu melati, aku yakin itu melati anakku. Namun dosa ini terlalu berat untuk
aku pikul menemuinya sehingga aku hanya bisa terdiam tak berani bergerak
sedikitpun, begitu banyak pertanyaan yang menjejali kepalaku saat ini,
pertanyaan yang timbul karna rasa ketakutanku pada kenyataan. Akankah mereka
masih bisa menerimaku,? apakah melati masih mengakuiku sebagai bapaknya dulu,?
Atau dia akan mengusirku jauh jauh dan tak ingin melihatku. Sampai ahirnya aku
melihat anak itu lari masuk kedalam rumah dan membiarkanku duduk terpaku
melihatnya pergi.